Seberapa
besarkah pengaruh Islam terhadap kesenian di Indonesia? Ada anggapan,
kedatangan Islam di kepulauan Nusantara tak banyak mempengaruhi
aspek-aspek kesenian yang ada di negeri ini, kecuali kaligrafi dan
arsitektur mesjid.
Pada
zaman Islam, saat mayoritas penduduk Indonesia telah memeluk Islam,
negeri kepulauan ini seolah-olah tak punya hasil-hasil seni yang
mengesankan seperti pada zaman megalitikum, di mana terdapat kebudayaan
batu besar yang halus dan keahlian membuat perkakas upacara dari
perunggu.
Kesenian
juga mencapai reputasi yang mengesankan semasa Hindu-Buddha, ketika
penduduk di Jawa dan Bali membangun candi-candi dengan arsitektur yang
mengagumkan, yang salah satunya merupakan monumen dunia dan salah satu
keajaiban dunia (Candi Borobudur). Lalu, semasa kolonialisme Eropa,
orang Belandalah yang memperkenalkan arsitektur yang hingga kini tetap
dikagumi, juga memperkenalkan seni lukis Barat yang hingga kini masih
populer, yaitu cat minyak di atas kanvas.
Semua
itu masih ditambah hambatan yang dialami para seniman Islam sendiri,
yang membatasi diri untuk tidak menciptakan karya-karya yang “tak
Islami”. Berlawanan dengan paham ekspresi kebebasan yang dianut
kebanyakan aliran seni, kesenian yang dianggap Islami justru membatasi
diri dalam hal kreasi maupun ekspresinya, misalnya, tak boleh melukiskan
figur makhluk hidup, juga tak boleh melukiskan wujud Nabi Muhammad.
Akibatnya, banyak orang beranggapan, Islam tak mendukung seni rupa.
Mereka mengacu kepada hadis (hadith), salah satu rujukan mengenai sunnah
atau prilaku Nabi Muhammad, yang menyebutkan larangan melukis binatang,
membuat patung, memotret, dan lain-lain. Walhasil, kita nyaris tak
melihat adanya kesenian yang disebut seni rupa Islam, selain kaligrafi
arab dan arsitektur mesjid.
Tapi,
apakah yang dimaksud dengan kesenian Islam? Apakah Islam itu
mengajarkan kesenian, sebagaimana kita dapati dalam Hinduisme,
Buddhisme, atau Katolik Roma?
Mari
kita berupaya untuk memahami hubungan antara agama dan seni, dan
mencoba mencairkan ketegangan yang ada di antara dua wilayah ini. Pertama, tinjauan seputar terminologi. Apakah yang dimaksud dengan seni rupa Islam?
Seni rupa dan Islam
adalah dua kategori yang berbeda. Seni rupa, sejauh cakupan makna yang
membatasinya, tentu tak akan melampaui wilayah yang lebih besar daripada
budaya, karena seni adalah bagian dari kebudayaan manusia. Seni rupa
adalah kreasi manusia, yang artinya berasal dari kebebasan manusia untuk
berkarya. Islam, berbeda dengan seni, bukanlah kebudayaan yang
merupakan hasil kreasi manusia. Islam adalah seperangkat aturan dari
Allah yang diturunkan kepada manusia agar ia mencapai keselamatan di
dunia dan akhirat. Karena Islam bukan kebudayaan, maka yang disebut
“kesenian Islam” tentunya tidak mengacu kepada jenis budaya tertentu
yang bersifat lokal atau etnik, seperti kesenian Bali (contohnya,
lukisan Bali) atau kesenian Timur Tengah (semisal orkes gambus). Yang
dinamakan kesenian Islam tentunya kesenian yang setidaknya tidak
mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan akidah maupun akhlak
Islam. Kesenian ini bisa berupa apa saja sesuai konteks geokultural
tempat kesenian itu berasal, juga sesuai komunitas pendukungnya
(tradisional, modern, atau kontemporer). Dia bisa berupa kesenian lokal
seperti lukisan kaca khas Cirebon atau pun instalasi karya alumni
perguruan tinggi seni.
Karena
Islam bukanlah entitas budaya tertentu, akan lebih tepat bila
menjelaskan kesenian yang dimaksud secara ajektifal yaitu sebagai
“kesenian yang islami”. Kesenian yang dimaksud mengandung --atau
setidaknya tak menyalahi-- nilai-nilai Islam, meski tak berasal dari
etnik atau komunitas yang berafiliasi dengan agama Islam. Tari perut,
meski berasal dari daerah berpenduduk muslim di Timur Tengah, bukanlah
kesenian yang islami karena bertentangan dengan nilai-nilai akhlak
Islam.
Sebaliknya,
ketika kita melihat karya-karya sketsa Romo Mudji Sutrisno (lahir
1955), seorang pastur yang selain menulis juga mulai menggeluti bidang
seni rupa, mereka justru tampak islami sesuai penafsiran tertentu
mengenai seni rupa Islam. Dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
ini menggelar pameran sketsanya pada pertengahan hingga akhir Januari
2007 dengan tema Dimensi Estetika Mudji Sutrisno. Digelar di Galeri
Nasional Indonesia, pameran menampilkan sekitar 180-an sketsa tentang
gereja-gereja di Eropa Selatan dan Rusia. Peraih gelar PhD dari
Universitas Gregoriana, Roma (1986) ini banyak menampilkan
bangunan-bangunan gereja dan lingkungan alam di sekelilingnya, tanpa
menghadirkan figur manusia apalagi figur telanjang yang biasanya banyak
menghiasi bangunan-bangunan ibadah bersejarah di Eropa. Dalam
pandangannya tentang estetika, Mudji menyebutkan bahwa meskipun pada
masa kekuasaan Islam (kekhalifahan di Suriah abad ke-7 M) masih ada
sikap saling menerima antara umat Islam dan Kristen, di kalangan umat
Kristiani berkembanglah perasaan malu dengan begitu banyak ikon dan
gambar di gereja-gereja dan tempat-tempat